Apa hukum suami memanggil istri dengan sebutan umi dan istri memanggil suami dengan sebutan abi? (0823 3251….)
Jawab:
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن واله، أما بعد:
Pertanyaan yang semisal juga datang dari beberapa ikhwah yang karena sempitnya waktu belum bisa kami jawab.
Menilik
pentingnya masalah ini dikarenakan banyaknya ikhwah yang mengamalkannya
dalam keseharian mereka, maka dengan memohon taufiq dari Alloh 'Azza wa Jalla kami akan mengulas permasalahan tersebut pada rubrik tanya-jawab ini sehingga seseorang bisathuma'ninah melakukan suatu perbuatan dikarenakan dibangun di atas ilmu dan penjelasan.
Pertama: Hendaknya kita mengetahui bahwa panggilan seorang suami kepada istrinya dengan panggilan "umi" atau "mama" atau "ibu" atau "adik"
dan yang semisalnya, bisa dihukumi dhihar dan bisa tidak, sesuai dengan
niatan sang suami. Hal ini berdasarkan sabda RosulullohShollallohu 'alaihi wa sallam:
(إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى)
"Semua
amalan mesti dibangun di atas niat, dan setiap orang hanyalah akan
mendapatkan sesuai apa-apa yang dia niatkan." (Muttafaq 'alaih).
Apabila
sang suami berniat dengan panggilan tersebut untuk menjadikan istri
haram digauli (jima') sebagaimana haramnya ibu, adik, dan mahram-mahram
perempuan yang lain maka hal ini masuk dalam hukum dhihar.
Akan
tetapi, kebanyakan orang yang menggunakan panggilan tersebut, terutama
di negeri kita ini, tidaklah meniatkan yang demikian itu. Biasanya
mereka menggunakan panggilan itu sebagai penghormatan dan ungkapan
sayang pada istri atau dengan tujuan untuk mengajari anak-anak dalam
memanggil orang tua mereka. Sehingga yang demikian ini tidaklah dihukumi
dhihar.
Imam Ibnu Qudamah Rohimahulloh mengatakan:
"Apabila (suami) mengatakan: "Kamu di sisiku seperti ibuku atau semisal dengan ibuku," apabila meniatkan dhihar maka dihukumi dhihar, menurut pendapat keseluruhan ulama.
Namun, jika meniatkan untuk penghormatan dan pemuliaan (sebagaimana mulianya ibu di sisi sang anak) maka bukanlah dhihar…
Demikian pula jika mengatakan: "Kamu itu adalah ummi (ibuku) atau "istriku itu adalah ummi (ibuku)." (Al-Mughny: 6/ 8)
Demikian pula jika mengatakan: "Kamu itu adalah ummi (ibuku) atau "istriku itu adalah ummi (ibuku)." (Al-Mughny: 6/ 8)
Al-Lajnah Ad-Daimah ketika ditanyakan kepada mereka permasalahan semisal ini menjawab:
"Jika seorang suami berkata kepada istrinya: "Aku adalah saudaramu," atau "Kamu adalah saudariku," atau "Kamu itu adalah ibuku," atau "seperti ibuku," apabila
menginginkan dengannya bahwa sang istri itu sama dengan orang-orang
yang disebut tersebut dari sisi kemuliaan, kedekatan, kebaikan,
penghormatan, atau dia sama sekali tidak meniatkan (dhihar) dan tidak
pula ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa dia meniatkan dhihar, maka
apa-apa yang dia ungkapkan tersebut bukanlah dhihar dan tidak ada
konsekuensi apapun atas ucapan dia itu.
Namun,
apabila dia menginginkan dengan kalimat-kalimat tadi dan yang
semisalnya adalah dhihar, atau adanya tanda-tanda yang menunjukkan
niatan dhihar padanya, seperti: terlontarnya kalimat tersebut dengan
kemarahan atau sebagai bentuk ancaman untuk istri, maka yang demikian
ini dihukumi dhihar, dan merupakan perbuatan yang haram.
Wajib atasnya bertaubat dan membayar kaffaroh sebelum mendatangi istrinya (jima'-red) yang berupa: membebaskan seorang budak.
Apabila tidak mendapatkannya maka berpuasa dua bulan berturut-turut.
Apabila tidak mampu, maka (kaffarohnya) adalah memberi makan enam puluh orang miskin."(Fatwa Lajnah: 20/ 274)
[lihat juga: Hasyiah Ibnil Qoyyim 'ala sunan Abi Dawud bersama 'Aunul Ma'bud: 6/ 212)
Apabila tidak mendapatkannya maka berpuasa dua bulan berturut-turut.
Apabila tidak mampu, maka (kaffarohnya) adalah memberi makan enam puluh orang miskin."(Fatwa Lajnah: 20/ 274)
[lihat juga: Hasyiah Ibnil Qoyyim 'ala sunan Abi Dawud bersama 'Aunul Ma'bud: 6/ 212)
Kedua:
Setelah kita ketahui bahwa panggilan-panggilan di atas apabila tidak
diniatkan dhihar atau tidak didapati tanda-tanda yang menjurus ke dhihar
tidaklah dihukumi sebagai dhihar yang diharamkan dalam syareat kita,
lalu apa hukum panggilan-panggilan tersebut?
Sebagian ulama menyatakan bahwa hal itu hukumnya makruh.
Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh imam Abu Dawud (2210) tentang seorang laki-laki yang memanggil istrinya: "Yaa Ukhoyyah (Wahai adik perempuanku)," maka NabiShollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:
(أُخْتُكَ هِيَ!) فَكَرِهَ ذَلِكَ وَنَهَى عَنْهُ.
"Apakah dia saudarimu?!" Beliaupun membenci yang demikian itu dan melarangnya.
Akan
tetapi hadits ini padanya ada perselisihan dalam periwayatannya, ada
yang meriwayatkan secara mursal dan ada yang muttashil. Dan riwayat yang
mursal itu lebih kuat. oleh karena itulah, Imam Al-Albaniy Rohimahulloh menghukuminya sebagai hadits yang dhoif sebagaimana dalam 'Dhoif Abi Dawud' (383-384).
Sebagian
yang lain beralasan tentang kemakruhannya karena panggilan-panggilan
tersebut menjadikan istri serupa dengan mahram, sebagaimana yang
dikatakan oleh Imam as-Sa'dyRohimahulloh ketika menyebutkan faidah-faidah dari ayat pertama dari surat Al-Mujadilah. Beliau mengatakan:
"Makruh
atas seorang laki-laki untuk memanggil istrinya dengan sebutan para
mahramnya, seperti: "Ya Ummi," "Ya ukhty," dan yang semisalnya,
dikarenakan yang demikian itu mejadikan istri seperti mahram. (Tafsir
As-Sa'diy surat Al-Mujadilah)
Akan
tetapi alasan inipun tidak kuat karena yang dilarang adalah menyamakan
istri dengan mahram dari sisi tidak bolehnya untuk digauli (jima')
adapun menyamakan istri dengan mahram terutama ibu dari sisi
penghormatan dan pemuliaan serta kasih sayang bukanlah perkara yang
dilarang, bahkan sebaliknya, hal semacam itu malah dianjurkan dalam
syareat Islam yang mulia ini.
Sebagian
ulama menyarankan agar panggilan yang seperti ini ditinggalkan karena
padanya ada dua kemungkinan hukum yang bertolak belakang. Yaitu antara
panggilan yang diinginkan oleh sang suami sebagai dhihar dan yang
tidak.
[lihat: Syarh Syaikh Abdul muhsin Al-'Abbad terhadap Sunan Abi Dawud: 46/ 253]
[lihat: Syarh Syaikh Abdul muhsin Al-'Abbad terhadap Sunan Abi Dawud: 46/ 253]
Akan
tetapi, untuk kebiasaan yang ada di negeri kita, ketika seorang suami
memanggil istrinya dengan ummi atau mama atau ibu atau ungkapan-ungkapan
lain yang semisal, tidaklah meniatkan dhihar, bahkan mungkin tidak
pernah terbersit sama sekali dalam diri mereka perkara ini.
Kalaupun ada yang meniatkan demikian, keberadaannya sangatlah jarang, dan sesuatu yang jarang tidaklah dibangun di atasnya hukum.
Sehingga
dengan ini kita ketahui bahwa kemungkinan batil yang terkandung dalam
panggilan itupun lenyap dan yang ada tinggal kemungkinan kedua yang
dengannya panggilan tersebut diperbolehkan.
Ikhwaniy fillah –Waffaqokumulloh-
berdasarkan uraian di atas kita ketahui bahwa ungkapan panggilan yang
menjadi pembahasan kita ini adalah sesuatu yang diperbolehkan dan tidak
ada kemakruhan padanya.
Hal inilah yang dipilih oleh Syaikh Ibnu 'Utsaimin –Rohimahulloh- ketika beliau ditanya:
"Apakah
boleh seorang laki-laki berkata kepada istrinya: "Ya ukhty" dengan
maksud sebagai ungkapan cinta semata, atau mengatakan: "Ya ummi" dengan
maksud sebagai ungkapan cinta semata?"
Beliau menjawab: "Ya, boleh baginya untuk mengatakan kepadanya (istri): Yaa ukhty atauYaa ummi, atau ungkapan-ungkapan lain yang semisal dengannya yang menimbulkan kasih sayang dan kecintaan.
Walaupun sebagian ulama memakruhkan seorang laki-laki memanggil istrinya dengan ungkapan-ungkapan seperti ini.
Akan tetapi, tidak ada alasan untuk dihukumi makruh. Sebab
amalan-amalan itu sesuai dengan niatnya. Dan laki-laki ini tidaklah
meniatkan dengan ungkapan-ungkapan tersebut bahwa istrinya itu haram
baginya dan menjadi mahramnya. Dia hanyalah menginginkan dengannya ungkapan kasih sayang terhadap (sang istri) dan ungkapan kecintaan kepadanya.
Semua
hal yang menjadi sebab saling menyayangi diantara suami dan istri baik
itu datangnya dari suami ataupun dari pihak istri, sesungguhnya yang
demikian itu adalah hal yang diharapkan.
[Fatawa Barnamij Nur 'alad Darb biwashithoh: Mauqi' Al-Islam Sualun wa jawaab].
[Fatawa Barnamij Nur 'alad Darb biwashithoh: Mauqi' Al-Islam Sualun wa jawaab].
Dan
untuk kebiasaan yang berjalan di negeri kita, ada satu lagi pendorong
orang tua menggunakan ungkapan-ungkapan tersebut, yaitu untuk
membiasakan anak-anak menggunakan ungkapan tadi kepada kedua orang
tuanya.
Sehingga
dengan ini, kalaupun toh seseorang menyatakan bahwa hukum
panggilan-panggilan itu makruh, maka hilanglah kemakruhan tersebut
dengan adanya hajat untuk melakukannya, sebagaimana kaidah fiqh:
الكراهة تزول بالحاجة
"Kemakruhan itu hilang dengan adanya hajat."
Jika
kita telah ketahui hukum panggilan seorang suami terhadap istri dengan
"ummi" atau yang semisalnya adalah boleh, maka tentunya untuk panggilan
seorang istri kepada suami dengan "abi" atau yang semisalnya lebih mudah
lagi untuk dijawab.
والله تعالى أعلم، نسأل الله التوفيق والسداد.
Purworejo, 10 Dzulqo'dah 1435
Abu Zakaria Irham bin Ahmad Al-Jawi –Hafidzohulloh-
0 komentar:
Posting Komentar