SELAMAT DATANG DI BLOG SEDERHANA INI

Selasa, 17 Maret 2015

(Kisah Yang Menakjubkan Tentang Ikhlash)

ABDULLAH IBNUL MUBARAK DAN BUDAK HITAM

Ibnul Mubarak rahimahullah menceritakan kisahnya: “Saya tiba di Mekkah ketika manusia ditimpa paceklik dan mereka sedang melaksanakan shalat istisqa’ di Al-Masjid Al-Haram. Saya bergabung dengan manusia yang berada di dekat pintu Bani Syaibah. Tiba-tiba muncul seorang budak hitam yang membawa dua potong pakaian yang terbuat dari rami yang salah satunya dia jadikan sebagai sarung dan yang lainnya dia jadikan selendang di pundaknya. Dia mencari tempat yang agak tersembunyi di samping saya. Maka saya mendengarnya berdoa,
 
“Ya Allah, dosa-dosa yang banyak dan perbuatan-perbuatan yang buruk telah membuat wajah hamba-hamba-Mu menjadi suram, dan Engkau telah menahan hujan dari langit sebagai hukuman terhadap hamba-hamba-Mu. Maka aku memohon kepada-Mu wahai Yang pemaaf yang tidak segera menimpakan adzab, wahai Yang hamba-hamba-Nya tidak mengenalnya kecuali kebaikan, berilah mereka hujan sekarang.”
 
Dia terus mengatakan, “Berilah mereka hujan sekarang.”
 
Hingga langit pun penuh dengan awan dan hujan pun datang dari semua tempat. Dia masih duduk di tempatnya sambil terus bertasbih, sementara saya pun tidak mampu menahan air mata. Ketika dia bangkit meninggalkan tempatnya maka saya mengikutinya hingga saya mengetahui di mana tempat tinggalnya. Lalu saya pergi menemui Fudhail bin Iyyadh. Ketika melihat saya maka dia pun bertanya, “Kenapa saya melihat dirimu nampak sangat sedih?” Saya jawab, “Orang lain telah mendahului kita menuju Allah, maka Dia pun mencukupinya, sedangkan kita tidak.” Dia bertanya, “Apa maksudnya?” Maka saya pun menceritakan kejadian yang baru saja saya saksikan. Mendengar cerita saya, Fudhail bin Iyyadh pun terjatuh karena tidak mampu menahan rasa haru. Lalu dia pun berkata, “Celaka engkau wahai Ibnul Mubarak, bawalah saya menemuinya!” Saya jawab, “Waktu tidak cukup lagi, biarlah saya sendiri yang akan mencari berita tentangnya.”
 
Maka keesokan harinya setelah shalat Shubuh saya pun menuju tempat tinggal budak yang saya lihat kemarin. Ternyata di depan pintu rumahnya sudah ada orang tua yang duduk di atas sebuah alas yang digelar. Ketika dia melihat saya maka dia pun langsung mengenali saya dan mengatakan, “Marhaban (selamat datang –pent) wahai Abu Abdirrahman, apa keperluan Anda?” Saya jawab, “Saya membutuhkan seorang budak hitam.” Dia menjawab, “Saya memiliki beberapa budak, silahkan pilih mana yang Anda inginkan dari mereka?” Lalu dia pun berteriak memanggil budak-budaknya. Maka keluarlah seorang budak yang kekar. Tuannya tadi berkata, “Ini budak yang bagus, saya ridha untuk Anda.” Saya jawab, “Ini bukan yang saya butuhkan.”
 
Maka dia memperlihatkan budaknya satu persatu kepada saya hingga keluarlah budak yang saya lihat kemarin. Ketika saya melihatnya maka saya pun tidak kuasa menahan air mata. Tuannya bertanya kepada saya, “Diakah yang Anda inginkan?” Saya jawab, “Ya.” Tuannya berkata lagi, “Dia tidak mungkin dijual.” Saya tanya, “Memangnya kenapa?” Dia menjawab, “Saya mencari berkah dengan keberadaannya di rumah ini, di samping itu dia sama sekali tidak menjadi beban bagi saya.” Saya tanyakan, “Lalu dari mana dia makan?” Dia menjawab, “Dia mendapatkan setengah daniq (satu daniq = sepernam dirham –pent) atau kurang atau lebih dengan berjualan tali, itulah kebutuhan makan sehari-harinya. Kalau dia sedang tidak berjualan, maka pada hari itu dia gulung talinya. Budak-budak yang lain mengabarkan kepadaku bahwa pada malam hari dia tidak tidur kecuali sedikit. Dia pun tidak suka berbaur dengan budak-budak yang lain karena sibuk dengan dirinya. Hatiku pun telah mencintainya.”
 
Maka saya katakan kepada tuannya tersebut, “Saya akan pergi ke tempat Sufyan Ats-Tsaury dan Fudhail bin Iyyadh tanpa terpenuhi kebutuhan saya.” Maka dia menjawab, “Kedatangan Anda kepada saya merupakan perkara yang besar, kalau begitu ambillah sesuai keinginan Anda!” Maka saya pun membelinya dan saya membawanya menuju ke rumah Fudhail bin Iyyadh.
 
Setelah berjalan beberapa saat maka budak itu bertanya kepada saya, “Wahai tuanku!” Saya jawab, “Labbaik.” Dia berkata, “Jangan katakan kepada saya ‘labbaik’ karena seorang budak yang lebih pantas untuk mengatakan hal itu kepada tuannya.” Saya katakan, “Apa keperluanmu wahai orang yang kucintai?” Dia menjawab, “Saya orang yang fisiknya lemah, saya tidak mampu menjadi pelayan. Anda bisa mencari budak yang lain yang bisa melayani keperluan Anda. Bukankah telah ditunjukkan budak yang lebih kekar dibandingkan saya kepada Anda.” Saya jawab, “Allah tidak akan melihatku menjadikanmu sebagai pelayan, tetapi saya akan membelikan rumah dan mencarikan istri untukmu dan justru saya sendiri yang akan menjadi pelayanmu.”
 
Dia pun menangis hingga saya pun bertanya, “Apa yang menyebabkanmu menangis?” Dia menjawab, “Anda tidak akan melakukan semua ini kecuali Anda telah melihat sebagian hubunganku dengan Allah Ta’ala, kalau tidak maka kenapa Anda memilih saya dan bukan budak-budak yang lain?!” Saya jawab, “Engkau tidak perlu tahu hal ini.” Dia pun berkata, “Saya meminta dengan nama Allah agar Anda memberitahukan kepada saya.” Maka saya jawab, “Semua ini saya lakukan karena engkau orang yang terkabul doanya.” Dia berkata kepada saya, “Sesungguhnya saya menilai –insya Allah– Anda adalah orang yang saleh. Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memiliki hamba-hamba pilihan yang Dia tidak akan menyingkapkan keadaan mereka kecuali kepada hamba-hamba-Nya yang Dia cintai, dan tidak akan menampakkan mereka kecuali kepada hamba yang Dia ridhai.” Kemudian dia berkata lagi, “Bisakah Anda menunggu saya sebentar, karena masih ada beberapa rakaat shalat yang belum saya selesaikan tadi malam?” Saya jawab, “Rumah Fudhail bin Iyyadh sudah dekat.” Dia menjawab, “Tidak, di sini lebih saya sukai, lagi pula urusan Allah Azza wa Jalla tidak boleh ditunda-tunda.” Maka dia pun masuk ke masjid melalui pintu halaman depan.
 
Dia terus mengerjakan shalat hingga selesai apa yang dia inginkan.
Setelah itu dia menoleh kepada saya seraya berkata, “Wahai Aba Abdirrahman, apakah Anda memiliki keperluan?” Saya jawab, “Kenapa engkau bertanya demikian?” Dia menjawab, “Karena saya ingin pergi jauh.” Saya bertanya, “Ke mana?” Dia menjawab, “Ke akherat.” Maka saya katakan, “Jangan engkau lakukan, biarkanlah saya merasa senang dengan keberadaanmu!” Dia menjawab, “Hanyalah kehidupan ini terasa indah ketika hubungan antara saya dengan Allah Ta’ala tidak diketahui oleh seorang pun. Adapun setelah Anda mengetahuinya, maka orang lain akan ikut mengetahuinya juga, sehingga saya merasa tidak butuh lagi dengan semua yang Anda tawarkan tadi.”  

Kemudian dia tersungkur sujud seraya berdoa, “Ya Allah, cabutlah nyawaku agar aku segera bertemu dengan-Mu sekarang juga!” Maka saya pun mendekatinya, ternyata dia sudah meninggal dunia. Maka demi Allah, tidaklah saya mengingatnya kecuali saya merasakan kesedihan yang mendalam dan dunia ini tidak ada artinya lagi bagi saya.”
 
(Al-Muntazham Fii Taarikhil Umam, karya Ibnul Jauzy, 8/223-225)
Sumber artikel: http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=140725
Diterjemahkan oleh: Abu Almass bin Jaman Al-Ausathy
17 Rabi’ul Awwal 1435 H
Daarul Hadits – Ma’bar – Yaman

Catatan : Kisah ini Juga disebutkan dalam Shifatush Shafwah Karya Beliau (Imam Ibnul Jauzy)

Hukum Memanggil Istri dengan Sebutan Ummy dan Sebaliknya

Tanya
Apa hukum suami memanggil istri dengan sebutan umi dan istri memanggil suami dengan sebutan abi? (0823 3251….)

Jawab:
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن واله، أما بعد:

Pertanyaan yang semisal juga datang dari beberapa ikhwah yang karena sempitnya waktu belum bisa kami jawab. 

Menilik pentingnya masalah ini dikarenakan banyaknya ikhwah yang mengamalkannya dalam keseharian mereka, maka dengan memohon taufiq dari Alloh 'Azza wa Jalla kami akan mengulas permasalahan tersebut pada rubrik tanya-jawab ini sehingga seseorang bisathuma'ninah melakukan suatu perbuatan dikarenakan dibangun di atas ilmu dan penjelasan.

Pertama: Hendaknya kita mengetahui bahwa panggilan seorang suami kepada istrinya dengan panggilan "umi" atau "mama" atau "ibu" atau "adik" dan yang semisalnya, bisa dihukumi dhihar dan bisa tidak, sesuai dengan niatan sang suami. Hal ini berdasarkan sabda RosulullohShollallohu 'alaihi wa sallam:

 (إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى) 

"Semua amalan mesti dibangun di atas niat, dan setiap orang hanyalah akan mendapatkan sesuai apa-apa yang dia niatkan." (Muttafaq 'alaih).

Apabila sang suami berniat dengan panggilan tersebut untuk menjadikan istri haram digauli (jima') sebagaimana haramnya ibu, adik, dan mahram-mahram perempuan yang lain maka hal ini masuk dalam hukum dhihar.

Akan tetapi, kebanyakan orang yang menggunakan panggilan tersebut, terutama di negeri kita ini, tidaklah meniatkan yang demikian itu. Biasanya mereka menggunakan panggilan itu sebagai penghormatan dan ungkapan sayang pada istri atau dengan tujuan untuk mengajari anak-anak dalam memanggil orang tua mereka. Sehingga yang demikian ini tidaklah dihukumi dhihar.

Imam Ibnu Qudamah Rohimahulloh mengatakan:
"Apabila (suami) mengatakan: "Kamu di sisiku seperti ibuku atau semisal dengan ibuku," apabila meniatkan dhihar maka dihukumi dhihar, menurut pendapat keseluruhan ulama. 
Namun, jika meniatkan untuk penghormatan dan pemuliaan (sebagaimana mulianya ibu di sisi sang anak) maka bukanlah dhihar…
Demikian pula jika mengatakan: "Kamu itu adalah ummi (ibuku) atau "istriku itu adalah ummi (ibuku)." (Al-Mughny: 6/ 8)

Al-Lajnah Ad-Daimah ketika ditanyakan kepada mereka permasalahan semisal ini menjawab:
"Jika seorang suami berkata kepada istrinya: "Aku adalah saudaramu," atau "Kamu adalah saudariku," atau "Kamu itu adalah ibuku," atau "seperti ibuku," apabila menginginkan dengannya bahwa sang istri itu sama dengan orang-orang yang disebut tersebut dari sisi kemuliaan, kedekatan, kebaikan, penghormatan, atau dia sama sekali tidak meniatkan (dhihar) dan tidak pula ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa dia meniatkan dhihar, maka apa-apa yang dia ungkapkan tersebut bukanlah dhihar dan tidak ada konsekuensi apapun atas ucapan dia itu.

Namun, apabila dia menginginkan dengan kalimat-kalimat tadi dan yang semisalnya adalah dhihar, atau adanya tanda-tanda yang menunjukkan niatan dhihar padanya, seperti: terlontarnya kalimat tersebut dengan kemarahan atau sebagai bentuk ancaman untuk istri, maka yang demikian ini dihukumi dhihar, dan merupakan perbuatan yang haram. 

Wajib atasnya bertaubat dan membayar kaffaroh sebelum mendatangi istrinya (jima'-red) yang berupa: membebaskan seorang budak. 
Apabila tidak mendapatkannya maka berpuasa dua bulan berturut-turut. 
Apabila tidak mampu, maka (kaffarohnya) adalah memberi makan enam puluh orang miskin."(Fatwa Lajnah: 20/ 274) 
[lihat juga: Hasyiah Ibnil Qoyyim 'ala sunan Abi Dawud bersama 'Aunul Ma'bud: 6/ 212)

Kedua: Setelah kita ketahui bahwa panggilan-panggilan di atas apabila tidak diniatkan dhihar atau tidak didapati tanda-tanda yang menjurus ke dhihar tidaklah dihukumi sebagai dhihar yang diharamkan dalam syareat kita, lalu apa hukum panggilan-panggilan tersebut?
Sebagian ulama menyatakan bahwa hal itu hukumnya makruh.

Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh imam Abu Dawud (2210) tentang seorang laki-laki yang memanggil istrinya: "Yaa Ukhoyyah (Wahai adik perempuanku)," maka NabiShollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:

 (أُخْتُكَ هِيَ!) فَكَرِهَ ذَلِكَ وَنَهَى عَنْهُ.

"Apakah dia saudarimu?!" Beliaupun membenci yang demikian itu dan melarangnya.

Akan tetapi hadits ini padanya ada perselisihan dalam periwayatannya, ada yang meriwayatkan secara mursal dan ada yang muttashil. Dan riwayat yang mursal itu lebih kuat. oleh karena itulah, Imam Al-Albaniy Rohimahulloh menghukuminya sebagai hadits yang dhoif sebagaimana dalam 'Dhoif Abi Dawud' (383-384).

Sebagian yang lain beralasan tentang kemakruhannya karena panggilan-panggilan tersebut menjadikan istri serupa dengan mahram, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam as-Sa'dyRohimahulloh ketika menyebutkan faidah-faidah dari ayat pertama dari surat Al-Mujadilah. Beliau mengatakan:

"Makruh atas seorang laki-laki untuk memanggil istrinya dengan sebutan para mahramnya, seperti: "Ya Ummi," "Ya ukhty," dan yang semisalnya, dikarenakan yang demikian itu mejadikan istri seperti mahram. (Tafsir As-Sa'diy surat Al-Mujadilah)

Akan tetapi alasan inipun tidak kuat karena yang dilarang adalah menyamakan istri dengan mahram dari sisi tidak bolehnya untuk digauli (jima') adapun menyamakan istri dengan mahram terutama ibu dari sisi penghormatan dan pemuliaan serta kasih sayang bukanlah perkara yang dilarang, bahkan sebaliknya, hal semacam itu malah dianjurkan dalam syareat Islam yang mulia ini.
Sebagian ulama menyarankan agar panggilan yang seperti ini ditinggalkan karena padanya ada dua kemungkinan hukum yang bertolak belakang. Yaitu antara panggilan yang diinginkan oleh sang suami sebagai dhihar dan yang tidak. 
[lihat: Syarh Syaikh Abdul muhsin Al-'Abbad terhadap Sunan Abi Dawud: 46/ 253] 

Akan tetapi, untuk kebiasaan yang ada di negeri kita, ketika seorang suami memanggil istrinya dengan ummi atau mama atau ibu atau ungkapan-ungkapan lain yang semisal, tidaklah meniatkan dhihar, bahkan mungkin tidak pernah terbersit sama sekali dalam diri mereka perkara ini.
Kalaupun ada yang meniatkan demikian, keberadaannya sangatlah jarang, dan sesuatu yang jarang tidaklah dibangun di atasnya hukum. 
Sehingga dengan ini kita ketahui bahwa kemungkinan batil yang terkandung dalam panggilan itupun lenyap dan yang ada tinggal kemungkinan kedua yang dengannya panggilan tersebut diperbolehkan.

Ikhwaniy fillah –Waffaqokumulloh- berdasarkan uraian di atas kita ketahui bahwa ungkapan panggilan yang menjadi pembahasan kita ini adalah sesuatu yang diperbolehkan dan tidak ada kemakruhan padanya.
Hal inilah yang dipilih oleh Syaikh Ibnu 'Utsaimin Rohimahulloh- ketika beliau ditanya: 
"Apakah boleh seorang laki-laki berkata kepada istrinya: "Ya ukhty" dengan maksud sebagai ungkapan cinta semata, atau mengatakan: "Ya ummi" dengan maksud sebagai ungkapan cinta semata?" 

Beliau menjawab: "Ya, boleh baginya untuk mengatakan kepadanya (istri): Yaa ukhty atauYaa ummi, atau ungkapan-ungkapan lain yang semisal dengannya yang menimbulkan kasih sayang dan kecintaan. 
Walaupun sebagian ulama memakruhkan seorang laki-laki memanggil istrinya dengan ungkapan-ungkapan seperti ini. 
Akan tetapi, tidak ada alasan untuk dihukumi makruh. Sebab amalan-amalan itu sesuai dengan niatnya. Dan laki-laki ini tidaklah meniatkan dengan ungkapan-ungkapan tersebut bahwa istrinya itu haram baginya dan menjadi mahramnya. Dia hanyalah menginginkan dengannya ungkapan kasih sayang terhadap (sang istri) dan ungkapan kecintaan kepadanya. 

Semua hal yang menjadi sebab saling menyayangi diantara suami dan istri baik itu datangnya dari suami ataupun dari pihak istri, sesungguhnya yang demikian itu adalah hal yang diharapkan. 
[Fatawa Barnamij Nur 'alad Darb biwashithoh: Mauqi' Al-Islam Sualun wa jawaab].

Dan untuk kebiasaan yang berjalan di negeri kita, ada satu lagi pendorong orang tua menggunakan ungkapan-ungkapan tersebut, yaitu untuk membiasakan anak-anak menggunakan ungkapan tadi kepada kedua orang tuanya.

Sehingga dengan ini, kalaupun toh seseorang menyatakan bahwa hukum panggilan-panggilan itu makruh, maka hilanglah kemakruhan tersebut dengan adanya hajat untuk melakukannya, sebagaimana kaidah fiqh:

الكراهة تزول بالحاجة

"Kemakruhan itu hilang dengan adanya hajat."

Jika kita telah ketahui hukum panggilan seorang suami terhadap istri dengan "ummi" atau yang semisalnya adalah boleh, maka tentunya untuk panggilan seorang istri kepada suami dengan "abi" atau yang semisalnya lebih mudah lagi untuk dijawab.

والله تعالى أعلم، نسأل الله التوفيق والسداد.

Purworejo, 10 Dzulqo'dah 1435
Abu Zakaria Irham bin Ahmad Al-Jawi –Hafidzohulloh- 

Sumber :http://asshohihah.blogspot.com/2014/10/hukum-memanggil-istri-dengan-sebutan.html